Sunandar Harsono Marwan: Sahabat Ceria yang Pergi dengan Senyum dan Semangat

442

~ Tapi bagaimana mungkin bisa lama marah pada seseorang yang setiap canda dan tawanya mampu mencairkan suasana? ~

Sunandar Harsono Marwan: Sahabat Ceria yang Pergi dengan Senyum dan Semangat
Sunandar Harsono Marwan

Opini, ZONABMR.COM – Tiga dekade lalu, pagi yang biasa di awal masa SMP menjadi awal dari sebuah persahabatan yang tak biasa.

Saat itu, saya mengenalnya untuk pertama kali—remaja berambut ikal dengan senyum ceria yang tak pernah absen.

“Sunandar Harsono Marwan,” jawabnya lugas ketika saya tanyakan namanya.

Sejak saat itu, kami berada di kelas yang sama meski tak sebangku, dan sejak saat itu pula, hidup saya tak pernah benar-benar lepas dari kehadirannya.

Sunandar Harsono Marwan: Sahabat Ceria yang Pergi dengan Senyum dan Semangat
Kenangan saat SMP bersama Almarhum

Sunandar—atau Nandar, begitu kami biasa memanggilnya—adalah sosok yang penuh warna.

Tingkah konyolnya seringkali membuat saya, ketua kelas saat itu, harus menahan kesal, apalagi ketika guru kelas sebelah datang menegur karena kegaduhan yang ia dan teman-teman buat saat jam kosong.

Tapi bagaimana mungkin bisa lama marah pada seseorang yang setiap canda dan tawanya mampu mencairkan suasana?

Persahabatan kami tak berhenti di dalam ruang kelas.

Letak rumah kami yang berdekatan, ia di Kampung Baru dan saya Mogolaing, membuat kami kerap berjalan kaki menyusuri Kotamobagu setiap sore, bersama satu sahabat lainnya.

Di masa itu, mikrolet masih mendominasi jalanan sebelum digantikan bentor.

Kami tumbuh bersama, dari bangku SMP ke SMA, dari sebangku menjadi sesama pengurus OSIS, hingga ia menjabat sebagai ketua OSIS dan saya tetap setia mendampinginya di belakang layar.

Setelah SMA, hidup kembali mempertemukan kami sebagai mahasiswa di kota yang sama—Manado. Ia kuliah di Politeknik, saya di Unsrat.

Kami saling bergantian menginap di kos-kosan masing-masing, menikmati masa muda dengan segala cerita yang menyertainya.

Saya masih ingat ketika ia akhirnya mengontrak rumah di Malalayang bersama kakaknya. Di sanalah, persahabatan kami berakar semakin dalam.

Sunandar bukan hanya sahabat, tapi jiwa pemersatu.

Ia dikenal sebagai penggagas acara reuni dengan “kedok event” atau dengan alasan biar tidak lupa wajah jika ketemu di jalan yang entah bagaimana selalu sukses ia jalankan dengan gaya khasnya: spontan, hangat, dan penuh tawa.

Sunandar Harsono Marwan: Sahabat Ceria yang Pergi dengan Senyum dan Semangat
Reuni Alumni Angkatan 1998 SMP N 1 Kotamobagu yang Digagas Almarhum Nandar

Bahkan setelah menikah, ia tetap menjadi pusat pertemuan kami di tempat usahanya: rental PS yang kemudian menjadi saksi awal jatuh bangunnya sebagai wirausahawan.

Saya bersyukur menjadi bagian dari setiap bab perjalanan hidupnya: dari mendengarkan impian politiknya saat maju sebagai caleg, menyusun menu usaha kulinernya, mendokumentasikan jualannya, hingga sukses dengan usaha kuliner itu.

Ia tak pernah meminta imbalan, dan saya tak pernah meminta bayaran. Karena dalam persahabatan kami, keikhlasan adalah mata uang yang berlaku.

Beberapa tahun terakhir, intensitas pertemuan memang berkurang.

Tapi Nandar tetap jadi sosok yang paling rajin menyapa duluan di grup WA. Ia pula yang dengan semangat mengajak saya bergabung dengan Kokot Runners—komunitas lari yang belakangan begitu ia cintai.

Satu hal yang tak akan pernah saya lupa adalah percakapan terakhir kami. Ia tengah mempersiapkan diri ikut marathon di Jogja. Saya sempat khawatir, menyarankan agar ia tidak memforsir diri.

Tapi ia menjawab dengan yakin, “Ini yang terakhir. Setelah ini saya santai saja.” Saya tak pernah menyangka, itu benar-benar yang terakhir.

Ia jatuh di kilometer 41, satu kilometer sebelum garis akhir.

Namun bahkan di detik-detik terakhirnya, Nandar masih menyemangati pelari lain. Seorang peserta bahkan menulis pengalamannya di media daring Jogja—betapa Sunandar adalah penyemangat sejati.

Kini, sahabat itu telah tiada. Tapi semangat, tawa, dan kebaikannya akan terus hidup dalam ingatan semua orang yang pernah mengenalnya.

Selamat jalan, Ndar. Sahabat, pemersatu, dan penyemangat sejati—engkau pergi dengan cara yang paling menggambarkanmu: berlari bersama semangat, hingga akhir.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here