Produk Lokal Sulit Menembus Rak Minimarket, Indomaret dan Alfamart Dituding Lebih Utamakan Barang dari Luar Daerah

182
Produk Lokal Sulit Menembus Rak Minimarket, Indomaret dan Alfamart Dituding Lebih Utamakan Barang dari Luar Daerah
Produk Lokal Sulit Menembus Rak Minimarket, Indomaret dan Alfamart Dituding Lebih Utamakan Barang dari Luar Daerah (Foto: Udi)

Kotamobagu, ZONABMR.COM – Di hampir setiap gerai Indomaret dan Alfamart di Kotamobagu, rak kebutuhan harian terlihat penuh.

Namun jika diperhatikan lebih detail, mayoritas produk yang terpajang bukan berasal dari UMKM lokal.

Dari puluhan rak yang tersedia, hanya segelintir menampilkan produk asli Kotamobagu.

Hasil penelusuran ZONABMR.COM di sejumlah gerai, Senin 25 Agustus 2025, menunjukkan fakta mencolok: produk olahan makanan ringan, bumbu dapur, hingga minuman kemasan sebagian besar dipasok dari Manado, Gorontalo, hingga Makassar. Sementara produk UMKM Kotamobagu bisa dihitung dengan jari.

“Kami sudah ikuti semua prosedur, bahkan sampai menandatangani perjanjian bermaterai. Tapi ujung-ujungnya tidak ada kepastian,” keluh Nassar Bin Awwat, Selasa 26 Agustus 2025, pemilik UD. Berlian NBA yang memproduksi bumbu dapur lokal.

UD. Berlian NBA sendiri bukan pemain baru. Usaha keluarga yang berlokasi di Kelurahan Pobundayan ini telah beroperasi sejak tahun 1985, dikenal dengan produk bumbu dapur tradisional yang menjaga cita rasa khas daerah.

Berbagai generasi keluarga di Kotamobagu sudah akrab dengan produk tersebut, namun ironisnya hingga kini justru sulit menembus rak minimarket modern.

Padahal, produk UD. Berlian NBA telah mengantongi izin BPOM, sertifikasi halal MUI dan secara kemasan telah cukup modern.

Namun semua itu belum cukup untuk menjamin produknya masuk ke rak minimarket.

“Biaya operasional dan waktu yang habis sangat memberatkan,” tambah Nassar.

Produk Lokal Sulit Menembus Rak Minimarket, Indomaret dan Alfamart Dituding Lebih Utamakan Barang dari Luar Daerah
Produk Bumbu Dapur UD. Berlian NBA (Foto: Ifa)

Tak hanya pelaku usaha, konsumen pun ikut merasakan dampaknya.

Ryan Mokodompit, warga Kotamobagu Timur, mengaku sering mencari produk lokal di minimarket namun jarang menemukannya.

“Saya suka beli sambal dan keripik buatan lokal karena rasanya beda. Tapi di Indomaret dan Alfamart hampir tidak ada. Kalau mau cari, ya harus ke pasar atau langsung ke rumah produksinya,” tutur Ryan.

Suara serupa datang dari Nayla Mutty, seorang pegawai swasta yang kerap belanja di minimarket.

“Harusnya produk lokal diberi tempat khusus, jadi kami tahu mana yang asli Kotamobagu. Sekarang lebih banyak barang dari luar. Sayang sekali, padahal produk lokal tidak kalah kualitasnya,” ujarnya.

Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kotamobagu, Ariono Potabuga, juga mengakui persoalan tersebut.

“Sejauh ini, produk lokal yang berhasil masuk jumlahnya masih sangat kecil. Dari puluhan UMKM yang mencoba, hanya sekitar 2–3 yang berhasil terpajang di rak. Sisanya didominasi produk luar daerah,” ungkapnya.

Ia menilai, perlu ada langkah konkret dari pihak ritel.

“Idealnya, Indomaret dan Alfamart membuka divisi khusus produk lokal di Kotamobagu. Dengan begitu, pelaku UMKM tidak perlu lagi menanggung ongkos tinggi hanya untuk ke Manado. Sosialisasi standar produk juga harus dilakukan secara terbuka,” ujarnya.

Ariono menambahkan, seharusnya ada keberpihakan nyata dari ritel modern terhadap pelaku UMKM lokal.

Ia menyinggung adanya payung hukum yang bisa menjadi dasar memperkuat kolaborasi, yaitu Peraturan Kepala BKPM Nomor 1 Tahun 2022.

“Inti dari aturan ini adalah mengatur tata cara kemitraan antara usaha besar dengan UMKM di daerah. Tujuannya jelas: membangun hubungan yang saling menguntungkan, memberikan kepastian hukum, dan mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi. Jadi, minimarket sebagai usaha besar seharusnya memberi ruang lebih bagi UMKM Kotamobagu untuk masuk ke rantai pasok mereka,” tegas Ariono.

Menurutnya, jika regulasi tersebut dijalankan secara konsisten, UMKM lokal tidak hanya menjadi penonton, tapi ikut menikmati dampak ekonomi dari hadirnya jaringan ritel modern di Kotamobagu.

Pengamat ekonomi lokal dari Universitas Dumoga Kotamobagu, Dr. Rachman Mokoginta, menilai fenomena ini merupakan bentuk asimetris pasar yang merugikan daerah.

“Ketika jaringan ritel modern hadir, seharusnya mereka menjadi mitra strategis UMKM. Tapi jika pintunya terlalu sempit, justru mereka hanya menjadi saluran distribusi produk luar. Dampaknya, uang belanja masyarakat Kotamobagu lebih banyak mengalir keluar daerah,” jelasnya.

Menurut Rachman, pemerintah daerah perlu lebih agresif memperjuangkan produk lokal agar mendapat porsi di minimarket modern.

“Ada regulasi di beberapa daerah yang mewajibkan ritel modern menyediakan minimal 20 persen rak untuk produk lokal. Mungkin Kotamobagu perlu mempertimbangkan kebijakan serupa,” tambahnya.

Minimnya keterlibatan produk lokal di minimarket besar tak hanya merugikan UMKM, tetapi juga konsumen Kotamobagu.

Warga kehilangan kesempatan menikmati produk asli daerah, sementara keuntungan ekonomi lebih banyak mengalir keluar.

Di balik slogan manis soal keberpihakan pada UMKM, realitas di rak-rak minimarket justru memperlihatkan jurang yang nyata.

Pertanyaannya kini: apakah dua raksasa ritel nasional ini benar-benar serius membuka ruang bagi UMKM lokal, atau sekadar menjadikannya jargon pemasaran?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here