Mendung di Langit Kotamobagu: Dua Perempuan dan Sunyi yang Bersuara untuk Palestina

110
Langit Mendung di Langit Kotamobagu: Dua Perempuan dan Sunyi yang Bersuara untuk Palestina
Mendung di Langit Kotamobagu: Dua Perempuan dan Sunyi yang Bersuara untuk Palestina. (Foto: Sri, Citra & Fandi)

Kotamobagu, ZONABMR.COM – Rabu, 2 Oktober 2025. Langit Kotamobagu tampak berat sore itu. Awan kelabu menggantung rendah di atas Tugu Permesta, monumen yang lebih dikenal warga sebagai Bundaran Paris, di Kelurahan Kotamobagu, Kecamatan Kotamobagu Barat.

Rintik hujan mulai turun perlahan ketika dua perempuan berdiri di sana — tanpa panggung, tanpa sorak, hanya membawa pesan sederhana yang mengguncang nurani: “Di sini hujan air, di sana hujan rudal.”

Tulisan itu tertera jelas di atas selembar kertas putih yang mereka bentangkan di tengah jalan basah.

Di belakang mereka, tugu Permesta berdiri tegak di bawah langit kelabu, seolah ikut menjadi saksi diam dari aksi sunyi tersebut.

Di pagar bundaran, beberapa lembar kertas lain menempel, bertuliskan pesan-pesan yang menggigit:

“GAZA MASIH BERDARAH,”

“GENOSIDA MASIH BELUM BERHENTI DAN TIDAK ADA YANG MENGHENTIKAN.”

Sementara di salah satu pojoknya, tergantung kain bergambar bendera Palestina — warnanya mencolok di antara kabut hujan dan aspal yang menghitam.

“Di sana mereka berjuang dengan nyawa,” ucap Sri Paputungan, dengan suara lembut namun menggetarkan. “Di sini kita berjuang dengan suara, doa, harta, dan aksi nyata.”

Sri berdiri mengenakan pakaian hitam panjang dan kerudung bermotif keffiyeh, simbol solidaritas rakyat Palestina.

Di sampingnya, Citra Tomaili memegang poster serupa, langkahnya tegap meski air hujan membasahi sandal dan celananya.

Bagi keduanya, aksi kecil itu adalah cara untuk merawat ingatan dan kesadaran. Sri mengaku khawatir isu kemanusiaan di Palestina perlahan mulai dilupakan di tengah derasnya arus informasi.

“Mungkin ada yang mulai bosan, lupa, atau sudah menganggap biasa saja dengan berita Palestina,” katanya. “Maka dengan langkah kecil ini kami ingin mengingatkan kembali. Mereka di sana hingga detik ini masih terus digenosida.”

Ia menatap langit mendung yang semakin gelap, lalu menambahkan dengan lirih,

“Aksi ini adalah bentuk merawat dukungan dan kepedulian, walau kami berada di barisan paling jauh. Semoga menjadi penyemangat bahwa selalu ada yang peduli — walaupun hanya lewat aksi dan kontribusi paling kecil.”

Citra menimpali, menegaskan bahwa langkah mereka juga merupakan refleksi nilai kemanusiaan dan semangat konstitusi bangsa.

“Ini bukan sekadar aksi pribadi,” katanya. “Tapi juga perwujudan sikap bangsa kita. Bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila kemarin, kami ingin menegaskan kembali sila kedua — kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena penjajahan harus dihapuskan, sebab kemerdekaan adalah hak segala bangsa.”

Rintik hujan kian deras. Kertas-kertas mulai lembap, tinta di sebagian poster menetes perlahan, namun semangat dua perempuan itu tetap utuh.

Di bawah langit yang muram, Bundaran Paris sore itu menjadi ruang kecil bagi suara kemanusiaan — tempat dua warga Kotamobagu kembali berdiri untuk kedua kalinya melawan lupa(keduanya telah melakukan aksi serupa dua pekan silam di alun-alun Boki Hontinimbang, red.), membawa pesan dari kota kecil di Sulawesi untuk dunia yang lebih besar: bahwa nurani belum padam, dan kepedulian masih hidup.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here