
Kotamobagu, ZONABMR.COM – Malam di TCW Bintang Café Kotamobagu terasa hangat dan penuh warna. Di antara riuh suara pengunjung, denting gelas, dan musik akustik dari panggung kecil di sudut café, seorang gadis muda duduk tenang.
Rambutnya tergerai rapi, wajahnya memantulkan cahaya lampu kuning yang lembut. Sesekali ia tersenyum malu, lalu tertawa kecil setiap kali bercerita tentang mimpinya.
Dialah Michelle Bakken, remaja asal Desa Babo, Kabupaten Bolaang Mongondow, yang baru saja dinobatkan sebagai Miss Teenager Sulawesi Utara 2025.
Lahir di Bali, 5 Juli 2010, Michelle kini berusia 15 tahun. Meski masih muda, remaja yang duduk di kelas 1 SMA Citra Kasih Manado ini telah menapaki panggung prestasi yang membawanya menuju ajang nasional Miss Teenager Indonesia di Jakarta pada akhir Oktober 2025.
Dengan tinggi 168 sentimeter dan berat 48 kilogram, Michelle tampil anggun, percaya diri, dan memiliki karakter kuat khas generasi muda yang berani bermimpi besar.
Perpaduan Dua Darah: Viking dan Mongondow
Michelle adalah anak bungsu dari dua bersaudara, putri pasangan Bernt Harald Bakken dan Sarintan Damogalad.
Dari sang ayah yang berasal dari Norwegia, ia mewarisi darah Skandinavia, keturunan Viking yang dikenal tangguh, berani, dan mencintai petualangan.
Dari sang ibu, ia membawa darah Mongondow, yang memiliki kearifan tinggi dalam menjaga alam dan kebersamaan.
“Michelle suka bilang, darah Michelle itu Viking Mongondow,” ucapnya sambil tersenyum, suaranya hampir tenggelam di tengah tepuk tangan pengunjung yang menikmati musik malam itu.
“Dua-duanya sama-sama suka alam dan petualangan. Dari kecil Michelle tidak bisa diam di rumah lama-lama. Pasti pengin ke gunung, tempat yang masih hijau, atau sekadar eksplor pesisir pantai di Babo.”
Campuran dua budaya itu menjadikan Michelle unik — ia tumbuh dengan nilai-nilai keberanian dan rasa ingin tahu ala bangsa Viking, tapi juga membawa kelembutan dan kecintaan terhadap alam sebagaimana orang Mongondow menjaga tanah leluhur mereka.
Anak Alam yang Tak Tega Melihat Kerusakan
Michelle menyebut dirinya “anak alam”. Ia gemar hiking, menjelajah hutan, atau ba pontar — istilah lokal untuk berpetualang di alam bebas bersama teman-temannya.
“Michelle paling nggak tahan lihat orang bunuh hewan atau rusak alam,” tuturnya dengan nada serius.
“Sekarang banyak tambang ilegal yang bikin sungai kotor dan hutan gundul. Rasanya sakit lihat itu. Makanya Michelle pengin kembangkan sesuatu, entah proyek sosial atau desain yang bisa bantu edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan.”
Baginya, lingkungan bukan sekadar latar tempat tinggal, tapi bagian dari identitas dan kehidupan. “Alam itu bukan untuk dieksploitasi, tapi dijaga. Itu rumah kita,” ujarnya tegas.
Seni, Desain, dan Jiwa Entrepreneur
Selain cinta alam, Michelle juga menyalurkan sisi kreatifnya lewat melukis, merajut, dan desain visual.
Jiwa seni itu mengalir dari darah sang ayah, Bernt Harald Bakken, yang sejak muda dikenal gemar berkarya dan menghargai keindahan alam dalam bentuk visual.
“Kalau lagi menggambar atau merajut, Michelle dengar musik R&B. Suaranya lembut, bikin fokus,” katanya sambil tertawa kecil.
“Biasanya Michelle gambar pemandangan, laut, bunga, pokoknya yang berhubungan sama alam. Dari situ juga kadang muncul ide buat desain.”
“Papa sering bilang, setiap karya itu punya jiwanya. Jadi waktu melukis, rasanya kayak ngobrol sama diri sendiri,” ujar Michelle pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh dentuman lembut bass dari panggung café.
Meski kini masih menganggapnya sebagai hobi, Michelle tak menutup kemungkinan jika suatu saat hasil karyanya akan dikomersilkan.
“Kalau nanti bisa, Michelle mau jual hasil rajutan atau desainnya,” ucapnya mantap. “Bukan cuma soal uang, tapi biar bisa kasih nilai lebih dari karya yang Michelle buat sendiri.”
Pandangan itu mencerminkan jiwa entrepreneur dalam dirinya — keinginan untuk mandiri, berproses, dan memberi makna dari hal-hal kecil yang ia sukai. “Papa selalu bilang, kalau mau sesuatu, buatlah dengan tangan sendiri. Jangan tunggu orang lain bantu,” ujarnya.
Dari Babo Menuju Jakarta
Perjalanan Michelle dimulai dari panggung Grand Final Miss Teenager Sulut yang digelar 2 Agustus 2025. Ia tampil percaya diri di antara finalis lain dan akhirnya berhasil membawa pulang mahkota kemenangan.
Kini, ia tengah bersiap ke Jakarta untuk berkompetisi di ajang nasional.
Dalam persiapannya, Michelle mendapat dukungan penuh dari Gabriel Barera Lengkong, manajer yang turut membimbingnya menghadapi masa karantina dan kompetisi nasional nanti.
“Kak Gabriel sangat bantu banyak,” katanya. “Mulai dari cara jalan di catwalk sampai cara bicara di depan juri. Michelle belajar banyak hal baru.”
Tak hanya membawa nama Sulawesi Utara, Michelle juga ingin memperkenalkan potensi keindahan alam Desa Babo kepada masyarakat nasional.
“Babo itu kecil, tapi indah banget,” ucapnya penuh semangat. “Pantai Babo Moonow dan Pantai Nyiur Hijau Babo, yang menawarkan daya tarik alam indah dan berpotensi menjadi tujuan wisata berkelas dunia.
“Selain itu, potensi wisata lainnya mencakup keindahan danau, jejeran bukit hijau, dan perkebunan warga, menciptakan suasana alam yang asri dan cocok untuk agrowisata. Michelle mau orang-orang tahu kalau di Bolmong juga banyak tempat cantik yang layak dikenal.”
“Masih seperti mimpi,” katanya sambil tersenyum. “Dari Babo, tempat kecil di Bolaang Mongondow, Michelle bisa sampai di titik ini. Tapi Michelle mau buktikan kalau anak daerah juga bisa bersuara, bisa berprestasi.”
Bagi Michelle, kemenangan bukan sekadar gelar. Ia melihatnya sebagai tanggung jawab untuk membawa pesan tentang pentingnya menjaga alam dan memperkenalkan nilai-nilai baik dari daerahnya.
Gen Z dengan Arah yang Jelas
Ketika membahas soal generasi Z, Michelle mengaku prihatin dengan pandangan bahwa generasinya sering dianggap “suka membangkang” atau “tidak fokus.”
“Padahal banyak juga anak Gen Z yang mau maju,” katanya. “Mereka cuma butuh ruang dan kepercayaan. Michelle bersyukur karena punya keluarga yang support. Papa sama Mama tak pernah larang, tapi mereka selalu percaya.”
Ia berpesan kepada teman-teman seusianya agar terus mengembangkan diri.
“Kalau suka game, seriusin — biar bisa jadi pro player. Kalau suka desain, tekuni. Pokoknya kembangkan potensi diri masing-masing, tapi untuk tujuan yang baik,” katanya mantap. “Kita tidak harus tunggu dewasa dulu buat berdampak. Mulai dari sekarang.”
Dukungan untuk Viking Mongondow dari BMR
Menjelang akhir wawancara, suasana di TCW Bintang Café makin ramai. Musik berubah lebih cepat, pengunjung bersorak, namun Michelle tetap tenang. Tatapannya lembut, tapi suaranya penuh keyakinan.
“Michelle pengin membuktikan kalau anak Babo juga bisa,” ujarnya.

“Darah Viking Mongondow itu bukan cuma soal keturunan, tapi semangat. Semangat buat terus maju, tanpa lupa dari mana kita berasal.”
Sebelum meninggalkan café, Michelle menyampaikan harapan besarnya.
“Michelle mohon dukungan dari seluruh masyarakat Bolaang Mongondow Raya,” katanya dengan senyum tulus.
“Bukan cuma untuk Michelle pribadi, tapi untuk membawa nama baik daerah kita di tingkat nasional. Semoga bisa kasih yang terbaik untuk Sulut dan BMR.”
Malam di Kotamobagu terus bergerak. Lampu café berpendar keemasan, musik berpadu dengan tawa pengunjung, namun di antara riuh itu, kisah Michelle terasa berbeda — sederhana namun kuat.
Dari sebuah desa kecil di Bolmong, gadis berdarah Viking Mongondow ini bersiap melangkah ke panggung nasional, membawa pesan tentang lingkungan, kreativitas, semangat wirausaha, dan kebanggaan anak daerah.