
Opini, ZONABMR.COM – Kita hidup di zaman di mana label “grand opening” seolah menjadi tiket untuk mendapat atensi, simpati, bahkan empati.
Maka, ketika sebuah kafe baru bernama Sains Cafe resmi dibuka, Selasa 5 Agustus 2025, dengan sokongan institusi sebesar Rumah BUMN, harapan pun langsung melambung: wah, ini pasti bukan kafe sembarangan.
Ini bukan cuma soal kopi, ini soal gerakan ekonomi lokal. Tapi sayangnya, realitas datang seperti espresso tanpa gula—pahit dan mengejutkan.
Apa yang terjadi? “Grand opening” yang seharusnya menjadi momen bersejarah, justru terasa seperti pesta ulang tahun yang diorganisir dengan file undangan Google Docs dan konsep acara hasil rembukan tengah malam.
Bahkan bukan hal yang mengada-ada ketika ada yang menyebut: kalau bukan karena penampilan Stand Up Indo BMR dan band Braga Mongondow, mungkin para hadirin lebih sibuk bermain ponsel daripada menyimak jalannya acara.
Lucunya, puncak dari acara ini justru bukan peluncuran produk, pengenalan UMKM, atau sambutan motivasional dari pejabat tinggi. Puncaknya adalah… ulang tahun CEO.
Ya, Anda tidak salah baca. Plot twist-nya, grand opening ini ternyata bertepatan dengan hari ulang tahun sang pemilik, dan akhirnya semua terasa seperti pesta pribadi yang diperluas sedikit agar tampak publik.
Sungguh kreatif, menyatukan dua agenda dalam satu rundown—hemat waktu, hemat biaya.
Dari sisi pejabat, hanya Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kotamobagu, Ariono Potabuga yang terlihat hadir.
Sebuah sinyal bahwa mungkin panitia pun tak terlalu yakin dengan skala acara ini.
Padahal, biasanya jika ada embel-embel “Rumah BUMN”, acara seperti ini bisa mendatangkan sebaris pejabat dengan sambutan panjang nan penuh semangat pemberdayaan.
Tapi di sini? Hanya satu perwakilan, yang malah sempat terlihat bingung. Wajar sih, saya pun bingung.
Lalu siapa yang tak hadir? Selain para tokoh-tokoh pengambil keputusan, tidak tampak satupun figur berduit yang seharusnya jadi target pasar dari promosi produk-produk UMKM.
Orang-orang yang biasa jadi donatur seni, kolektor kerajinan, atau bahkan pemilik usaha besar lokal—semuanya absen.
Seolah-olah mereka tahu lebih dulu bahwa acara ini bukan tempat yang layak untuk mengeluarkan dompet atau sekadar menambah jejaring, atau mungkin tak diundang karena dianggap tak penting.
Dan ini yang lebih mengejutkan lagi: media tak satu pun diundang.
Ya, media—pihak yang seharusnya menjadi perpanjangan suara acara ini ke masyarakat luas—malah luput dari daftar undangan.
Ini ibarat menyanyi di ruang kosong lalu berharap dunia ikut berdendang.
Bagaimana publik mau tahu, jika penyambung lidah masyarakat malah tidak dianggap penting? Atau, mungkin panitia merasa cukup dengan dokumentasi HP dan story Instagram pribadi?
Padahal kehadiran media bisa menjadi amplifikasi luar biasa untuk UMKM binaan yang katanya ingin diperkenalkan ke masyarakat.
Tapi kenyataan berbicara lain. Sains Cafe memulai langkah pertamanya dengan cara yang nyaris diam-diam—hanya saja bukan karena konsep soft opening, tapi karena kelalaian komunikasi.
Belum lagi momen lelang lukisan karya anak muda lokal, yang seharusnya bisa jadi highlight acara, malah berakhir kikuk. Antusiasme minim, interaksi pasif, dan akhirnya dimenangkan oleh CEO sendiri.
Saya hargai niat baik sang CEO membeli karya anak muda—tapi tetap saja, ini bukan cerita sukses lelang, ini lebih mirip cerita “daripada tidak laku.”
Sungguh disayangkan. Momentum yang seharusnya bisa menjadi panggung kolaboratif antara pelaku usaha, pemerintah, komunitas seni, media, dan masyarakat luas—berubah menjadi acara ambigu yang tak jelas batas antara pesta pribadi dan launching produk.
Pertanyaannya: bagaimana bisa acara yang disokong oleh Rumah BUMN—dengan reputasi dan sumber daya yang tidak kecil—terasa begitu sempit ruang dampaknya?
Apakah semua ini akibat ketergesaan, atau memang tidak ada pemahaman soal pentingnya manajemen event dan komunikasi publik?
Semua pihak tentu ingin UMKM tumbuh, berkembang, dan naik kelas.
Tapi pertumbuhan itu tak akan terjadi jika langkah pertamanya saja sudah salah arah.
Acara sebesar ini, dengan potensi keterlibatan banyak stakeholder, seharusnya menjadi simbol sinergi nyata—bukan sekadar acara seremonial bertema “yang penting jalan”.
Jika ke depan kita ingin melihat UMKM benar-benar berjaya, maka kita butuh lebih dari sekadar bantuan modal atau tempat usaha.
Kita butuh visi, konsep yang matang, undangan yang strategis, media yang dilibatkan, dan acara yang benar-benar layak disebut “grand.”
Dan tolong, lain kali, jika memang ingin ulang tahun—buat saja undangan bertema “Happy Birthday.”
Jangan dibungkus dengan label “Grand Opening” dan berharap masyarakat akan terpukau.
Tentunya saya—dan kita semua—masih menyimpan harapan besar bahwa produk-produk lokal UMKM akan tetap bisa naik kelas lewat Rumah BUMN di masa depan.
Tapi untuk itu, harus dimulai dari keseriusan mendesain setiap langkah: dari konsep, strategi komunikasi, hingga eksekusi yang benar-benar pantas disebut “launching yang layak.”
Saya berani bersumpah tidak memiliki tendensi negatif atau tujuan pribadi terhadap Sains Cafe, pun beberapa pelaku yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang yang cukup dekat dengan saya, tapi tolonglah, seharusnya dengan nama besar Rumah BUMN sebagai bekingan sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk ekstra serius menggolkan program UMKM naik kelas.
Namun di tengah semua kekacauan narasi dan miskinnya konsep ini, saya juga sungguh berharap tulisan ini hanya menjadi pengingat ringan—bahwa ada misi besar di balik nama besar Rumah BUMN.
Tulisan ini bukan untuk memadamkan semangat, apalagi menjatuhkan.
Saya tidak ingin tulisan ini justru membuat animo masyarakat terhadap Sains Cafe menurun. Justru sebaliknya.
Saya sangat menyarankan warga Kotamobagu dan sekitarnya untuk tetap berbondong-bondong mengunjungi Sains Cafe.
Bukan sekadar untuk ngopi atau nongkrong, tapi untuk ikut mendukung, membeli, dan mempromosikan produk-produk UMKM lokal yang dibina melalui Rumah BUMN.
Karena di balik semua kekurangan teknis yang ada, produk-produk UMKM ini tetap pantas untuk naik kelas, dikenal luas, dan menjadi kebanggaan daerah.
Dan saya tahu persis—di luar acara yang hambar itu—kopinya ternyata nikmat, pelayannya ramah, dan produknya layak dipromosikan.
Bukankah pada akhirnya, kita semua sepakat bahwa UMKM memang butuh dukungan… bukan hanya dari negara, tapi juga dari kita semua?
Mari belajar dari acara ini—bukan untuk menyalahkan, tapi untuk tidak mengulanginya.***

*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Zonabmr. Aktif di pergerakan musik lokal daerah, frontman dan penulis lagu di band Krayon INS. Pernah memperjuangkan karya-karya musisi lokal BMR untuk didengar saat menjadi penyiar di stasiun radio lokal DC FM; saat ini menjabat sebagai Ketua DPC organisasi pers Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Kabupaten Bolmong