Pembekuan BAS Advokat Firdaus Oiwobo dan Razman Arif Nasution: Sebuah Tinjauan Hukum dan Etika Profesi

142

Eldy Satria Noerdin. Foto: IstimewaPembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) seorang advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi Banten dan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon beberapa hari lalu, tepatnya pada 11 Februari 2025, menjadi perhatian banyak kalangan, baik di dunia hukum maupun publik. Hal ini terjadi setelah dua advokat, M. Firdaus Oiwobo dan Razman Arif Nasution, terlibat dalam suatu peristiwa yang memicu kegaduhan di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Tindakan mereka, yang dilihat oleh sebagian besar netizen dan publik sebagai tindakan yang mengarah pada melanggar etika profesi dan bisa dikategorikan sebagai contempt of court, atau penghinaan terhadap kewibawaan pengadilan.

Sebagai seorang advokat, mereka memiliki kewajiban untuk menjaga marwah dan kehormatan profesi. Namun, di balik peristiwa ini, penulis merasa perlu mengkritisi dan mempertanyakan langkah pembekuan BAS oleh Pengadilan Tinggi tersebut, yang menurut penulis bisa berpotensi menimbulkan masalah besar bagi independensi profesi advokat ke depannya. Dalam hal ini, penting untuk dipahami bahwa BAS bukanlah suatu keputusan hukum atau penetapan, melainkan sekadar rekaman administrasi yang mencatat proses pengambilan sumpah oleh seorang advokat. Oleh karena itu, pembekuan BAS, yang dilakukan dengan alasan tindakan perbuatan tidak beretika di ruang sidang, sebenarnya sangat jauh dari substansi yang semestinya menjadi dasar penentuan pembekuan tersebut. Ini baru beralasan secara administratif bila pembekuan dilakukan atas dasar adanya maladministrasi dalam proses pengambilan sumpah. Misalnya, diketahui kemudian ternyata ijazah bermasalah dan atau kartu identitas penduduk tidak valid, atau dokumen pemenuhan syarat penyumpahan lainnya dari organisasi.

Apabila merujuk pada aturan yang ada, pemberhentian advokat dari profesinya tidak berada di ranah wewenang Mahkamah Agung. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang memiliki wewenang untuk memberhentikan seorang advokat adalah Organisasi Advokat (OA). Dengan demikian, tindakan administratif yang diambil Mahkamah Agung dengan membekukan BAS tersebut seharusnya tidak mengabaikan hak advokat untuk menjalankan profesinya, meskipun melakukan pelanggaran etik atau pidana. Pembekuan BAS tersebut justru dapat mengaburkan prosedur yang tepat, dan memberikan ruang ketidakpastian hukum.

Dalam konteks ini, perlu kita pertimbangkan bahwa apabila BAS dibekukan, artinya advokat tersebut diabaikan dari status yang sah sebagai seorang advokat, meskipun proses pemberhentiannya tidak dilakukan oleh organisasi advokat. Tanpa BAS, maka advokat tersebut tidak akan bisa melaksanakan praktik beracara di pengadilan, karena untuk dapat tampil di pengadilan, advokat (dalam praktik saat ini) selain harus menunjukan Kartu Advokat yang berlaku, juga wajib menunjukkan BAS. Dengan pembekuan BAS, advokat yang bersangkutan akan dianggap belum pernah menjalankan sumpahnya, meskipun pada kenyataannya, dia telah disumpah sebelumnya. Ini menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum dan ketidakpastian dalam penegakan etika profesi advokat.

Namun, ada hal yang perlu diurai lebih lanjut mengenai penggunaan istilah “pembekuan” yang dipilih oleh Mahkamah Agung. Pembekuan BAS secara teknis tidak sama dengan pemberhentian. Pembekuan BAS adalah langkah administratif yang sifatnya lebih sementara, yang hanya menangguhkan pengakuan advokat sebagai pihak yang sah di pengadilan. Dengan kata lain, ini bukan pemberhentian secara langsung dari profesi advokat, namun bisa memiliki dampak yang serupa, mengingat tanpa BAS, advokat tersebut tidak bisa menjalankan profesinya di ruang sidang. Jadi, meskipun pembekuan BAS ini tidak berarti pemecatan atau pemberhentian definitif, hal tersebut tetap memberikan efek yang hampir sama, yaitu menghalangi advokat untuk berpraktik di pengadilan.

Di sisi lain, perlu dicatat bahwa pembekuan ini mungkin merupakan cara Mahkamah Agung melalui Pengadilan Tinggi menghindari wewenang pemberhentian langsung terhadap advokat tersebut, yang menjadi ranah organisasi advokat. Dengan demikian, pembekuan bisa dilihat sebagai langkah administratif yang bersifat sementara, namun tetap mengaburkan prosedur hukum yang tepat dan wewenang yang seharusnya dimiliki oleh organisasi advokat.

Selain itu, masalah yang lebih mendasar dalam konteks ini adalah terkait dengan dinamika organisasi advokat yang ada di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Advokat, sejak awal profesi advokat berada dalam sistem single bar. Namun, sejak keluarnya Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, PERADI menjadi bukan pemegang hak tunggal dalam mengajukan pengambilan sumpah advokat. Artinya meski UU Advokat menganut single bar, namun dengan SKMA tersebut di Indonesia dalam praktiknya menjadi multi bar. Permasalahan multi bar ini memberikan celah bagi terjadinya ketidakpastian dalam menegakkan etika profesi. Advokat yang diberhentikan oleh suatu organisasi advokat kini dapat dengan mudah berpindah ke organisasi advokat lain tanpa adanya kontrol yang memadai.

Selanjutnya, jika pembekuan BAS ini dijadikan preseden, maka pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana dengan profesi atau jabatan lain yang juga diambil sumpahnya oleh hakim pengadilan? Apakah jika mereka yang disumpah kemudian melakukan tindakan contempt of court atau perbuatan pidana, maka BAS mereka juga bisa dibekukan? Tentu saja, tidak demikian. Jika kita menerapkan prinsip yang sama, maka akan timbul ketidakpastian di berbagai profesi dan jabatan yang diambil sumpahnya di pengadilan maupun oleh ketua pengadilan, dan ini bisa menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum dan etika profesi.

Kendati demikian, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa tindakan yang dilakukan oleh advokat termasuk pelanggaran serius yang konsekuensinya dapat diberi sanksi sesuai dengan etika profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal ini, KUHP lama maupun UU Nomor 1 tahun 2023 (KUHP baru) mengatur sanksi bagi mereka yang menghina pengadilan, melakukan kegaduhan dalam sidang, atau tidak menghormati hakim dan aparat penegak hukum. Beberapa pasal yang relevan antara lain adalah Pasal 207, 217, dan 224 KUHP lama, serta Pasal 279, 280, dan 281 dalam KUHP baru yang memberikan sanksi bagi pelaku yang menghalang-halangi proses peradilan, menghina pengadilan, atau membuat kegaduhan dalam ruang sidang.

Di sisi lain, perlu juga diingat bahwa pemberhentian atau pemecatan seorang advokat haruslah dilakukan oleh organisasi advokat, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pengaturan tersebut bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam proses pemberhentian advokat, sekaligus menjaga integritas dan independensi profesi advokat.

Oleh karena itu, meskipun tindakan kedua advokat tersebut tidak dibenarkan dan berpotensi mendapatkan sanksi yang sesuai, namun pelanggaran sumpah kemudian dilakukan pembekuan BAS oleh Ketua Pengadilan Tinggi seharusnya tidak menjadi langkah yang dapat diambil oleh lembaga pengadilan, karena hal itu dapat mengabaikan prosedur yang sudah jelas diatur oleh hukum. Organisasi advokatlah yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk memberikan sanksi berupa pemberhentian atau pemecatan terhadap anggotanya bila melanggar sumpah. Sebagai penulis, saya mengingatkan bahwa dalam konteks apapun, advokat harus selalu menjaga integritas, etika profesi, dan, yang tak kalah penting, wibawa pengadilan, demi terwujudnya sistem peradilan yang adil dan bermartabat.

*)Eldy Satria Noerdin, Praktisi Hukum dan Dosen Universitas Dumoga Kotamobagu. Kotamobagu

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Zonbmr.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here