Penulis: Farshah Paputungan
ZONABMR.COM – Debat kedua calon Wali Kota Kotamobagu yang digelar oleh KPU pada 2 November 2024 berhasil memancing perhatian publik, namun tak luput dari kontroversi.
Dalam sesi debat, salah satu pasangan calon menyampaikan pernyataan yang menimbulkan kegelisahan.
Paslon tersebut menyatakan, “Persoalan hak ulayat sudah tidak ada lagi sejak tahun 1950, ketika Bolaang Mongondow bergabung dengan NKRI. Jika hak ulayat masih ada, maka tidak akan ada perusahaan seperti JRBM, BDL, maupun Conch. Hak ulayat adalah kewenangan masyarakat adat untuk mengelola pertanian dan sumber daya di lingkup mereka.”
Pernyataan ini diakhiri dengan klaim bahwa masyarakat adat sudah tidak ada lagi di Kotamobagu.
Pernyataan ini diberikan sebagai respons atas pertanyaan moderator terkait hak masyarakat adat yang sering kali berbenturan dengan kepentingan pembangunan, serta bagaimana para calon wali kota dan wakil wali kota menyikapi persoalan ini agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Mendengar pernyataan tersebut, serasa ada yang mengganjal bercampur sedih dan gelisah dalam benak saya perihal eksistensi diri, yang merasa bahwa saya bagian dari masyarakat hukum adat bolaang mongondow karena berusaha hidup dengan nilai-nilai adat-nya.
Hal ini pun memunculkan pertanyaan, apakah kami benar-benar hilang?
Ternyata pengalaman dan perasaan seperti itulah yang sering dirasakan oleh beberapa masyarakat adat yang sering berbenturan dengan pemerintah terkait pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka sebagai masyarakat hukum adat.
Oleh karena itu, saya merasa perlu menuliskan sebuah catatan kecil untuk calon penguasa, dengan harapan menambah wawasan mereka tentang kami-kami yang hidup dan mati dengan adat.
Sedikit Wawasan Baru Bagi Calon Penguasa Yang Menganggap Kami Telah Hilang
Pandangan tanpa dasar yang mengatakan masyarakat hukum adat Bolaang Mongondow sudah tidak ada lagi ketika kerajaan bolaang mongondow bergabung dengan NKRI, mencerminkan sikap yang mengabaikan pengakuan negara terhadap masyarakat adat yang secara tegas dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.
Kehilangan pengakuan ini sama saja dengan menghilangkan bagian penting dari warisan budaya yang selama ini menjadi identitas masyarakat lokal.
Hal ini dapat dianggap sebagai bentuk penolakan dan pengabaian terhadap identitas masyarakat adat Bolaang Mongondow.
Masyarakat adat di Indonesia, di dalamnya termasuk masyarakat Bolaang Mongondow, telah lama eksis dengan sejarah, budaya, dan sistem hukum yang kuat, jauh sebelum terbentuknya NKRI.
Mereka merupakan pewaris kebudayaan dengan ikatan yang mendalam terhadap wilayah geografis dan lingkungan hidup, sebagaimana diakui dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (31), yang mendefinisikan masyarakat hukum adat sebagai kelompok masyarakat yang bermukim turun-temurun di wilayah tertentu, dengan ikatan asal-usul leluhur dan sistem nilai yang menentukan pranata sosial, politik, dan ekonomi mereka.
Mengutip tulisan seorang peneliti asal Belanda, J.C. Kielstra dalam artikelnya yang berjudul De Bewoners Van Noord Celebes dalam buku De Volken Van Nederlandche Indie, bahwa “fakta bahwa Kesultanan Bolaang Mongondow merupakan kekaisaran paling kuat di Sulawesi Utara.”
Sebuah bukti sejarah bahwa masyarakat adat di Kotamobagu dan sekitarnya merupakan pewaris kebudayaan yang berakar kuat.
Maka, pernyataan yang menyebut masyarakat adat sudah tidak ada, sama dengan menghapus eksistensi kebudayaan yang hingga kini masih dipegang teguh.
Pengakuan terhadap masyarakat adat adalah bentuk penghormatan terhadap identitas budaya, bahasa, dan tradisi yang membentuk karakter unik setiap kelompok adat.
Sebagai calon penguasa, seharusnya memahami kondisi daerah kekuasaannya.
Penting bagi para kandidat kepala daerah untuk memiliki pemahaman yang lebih dalam dan menghargai keberadaan masyarakat adat, khususnya masyarakat Bolaang Mongondow.
Penghargaan ini bukan hanya mencerminkan komitmen pada keragaman budaya, tetapi juga pada keutuhan bangsa.
Sekedar Wawasan Kecil Bagi Penguasa Tentang Hak Ulayat
Argumentasi yang mengatakan bahwa persoalan hak ulayat sudah tidak ada sejak bergabungnya bolaang mongondow kedalam NKRI tak berdasar dan spekulatif, terkesan tidak seharusnya dikatakan oleh seorang calon pemimpin.
Padahal negara menjamin lewat peraturan perundang-undangan tentang adanya tanah adat/ulayat itu sendiri.
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 3 dikatakan bahwa Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 Pasal 1 ayat (10) menjebarkan secara rinci tentang jaminan hak ulayat bagi masyarakat hukum adat dengan bunyi pasal yakni, Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, yang selanjutnya disebut hak ulayat, adalah hak milik bersama masyarakat hukum adat yang diakui oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari dua landasan peraturan tersebut kita bisa melihat bahwa argumentasi yang disampaikan oleh Nayodo Koerniawan sebagai calon wali kota Kotamobagu bertentangan dengan apa yang diatur di negara kesatuan republik Indonesia.
Pernyataan calon Wali Kota Kotamobagu, Nayodo Koerniawan, yang menyebut bahwa hak ulayat sudah tidak ada sejak bergabungnya Bolaang Mongondow dengan NKRI, terlihat sangat spekulatif dan tak berdasar.
Entah darimana pandangan ini berasal, Pandangan ini terkesan mengabaikan aturan hukum yang menjamin keberadaan hak ulayat.
Seharusnya, seorang calon pemimpin lebih memahami peraturan perundang-undangan yang mengakui dan melindungi tanah adat di Indonesia khususnya Kota Kotamobagu.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 3 dengan jelas menyatakan bahwa hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat tetap diakui sepanjang masih ada dan harus disesuaikan dengan kepentingan nasional, tanpa bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
Demikian pula, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 Pasal 1 ayat (10) menjelaskan bahwa hak ulayat adalah hak milik bersama masyarakat hukum adat yang diakui oleh pemerintah pusat atau daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dari dua landasan hukum tersebut, terlihat jelas bahwa argumen Nayodo Koerniawan sebagai calon pemimpin bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam NKRI.
Masyarakat adat Bolaang Mongondow memiliki hak yang diakui oleh negara, dan mengesampingkan hak tersebut sama saja dengan mengabaikan komitmen konstitusi untuk melindungi masyarakat hukum adat.
Pandangan yang kurang tepat ini menimbulkan keprihatinan bagi saya terhadap kualitas beliau.
Di sisi yang lain perlu kita ketahui Bersama bahwa masyarakat hukum adat di Bolaang Mongondow Raya terus berupaya dalam pelestarian budaya dan berusaha adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat Bolaang Mongondow Raya.
Salah satu contoh kecil dari banyaknya peran masyarakat hukum adat Bolaang Mongondow raya adalah dengan penetapan lokasi berdirinya Makam Bogani Tudu In Passi sebagai tanah adat dan situs sejarah kebudayaan Bolaang Mongondow.
Hal ini tentu berdampak langsung pada upaya untuk melestarikan budaya masyarakat adat Bolaang Mongondow khususnya masyarakat adat Passi.
Di lain sisi pun pada tahun 2023, aliansi masyarakat adat bolaang mongondow (AMABOM) melaksanakan Bakid Moloben (Musyawarah Besar) yang menghasilkan beragam rekomendasi yang berorientasi pada terpenuhinya hak masyarakat adat Bolaang Mongondow.
Diantaranya adalah mendesak kepada Pemerintah Kabupaten dan DPRD se-Bolaang Mongondow Raya (BMR) membuat PERDA tentang Lembaga dan Masyarakat Adat dan Mendesak kepada seluruh Pemerintah Kab/Kota se-BMR segera melaksanakan Permendagri No. 52/2014 tentang Tata Cara Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Harapan dengan terbitnya tulisan ini mulai memantik penulis dan pembaca untuk lebih memperhatikan lagi tentang pentingnya pelestarian budaya dan sebagai tujuan khusus untuk menyadarkan para calon penguasa di bolaang mongondow raya tentang keberadaan masyarakat hukum adat Bolaang Mongondow.
Tulisan kali ini hadir sebagai niat baik untuk menambah wawasan calon penguasa supaya lebih berdasar dalam berkata.
*Penulis adalah anak muda asal Kota Kotamobagu yang saat ini berstatus mahasiswa semester 7 di Universitas Negeri Gorontalo