~Maka ketika ada orang-orang yang dengan tulus membuka pintu usaha mereka demi memberi ruang bagi suara-suara itu, patutlah kita memberi salam hormat~

Opini, ZONABMR.COM – Di kota kecil seperti Kotamobagu dan kawasan Bolaang Mongondow Raya (BMR), semangat bermusik tak pernah benar-benar padam.
Ia mungkin tidak selalu terdengar keras, tapi selalu ada—menyala kecil di sudut-sudut kamar tidur, di studio seadanya, dan kini, semakin sering di panggung-panggung sederhana yang lahir dari inisiatif para pemilik kafe lokal.
Dalam diam, mereka membuktikan bahwa ruang berkarya bisa diciptakan dari niat, bukan sekadar modal.
Di tengah riuhnya industri musik nasional yang serba instan dan kompetitif, para musisi lokal berjuang untuk tetap hidup—bukan hanya secara ekonomi, tetapi secara batin.
Bagi mereka, musik adalah cara mengekspresikan isi kepala, keresahan, cinta, luka, dan semangat.
Namun sering kali, semangat itu terbentur realitas: tak ada panggung, tak ada ruang, tak ada dukungan.
Maka ketika ada orang-orang yang dengan tulus membuka pintu usaha mereka demi memberi ruang bagi suara-suara itu, patutlah kita memberi salam hormat.
Log In Cafe adalah satu di antara tempat yang kini menjadi simbol harapan baru bagi geliat musik lokal.
Bukan hanya karena desain interiornya yang nyaman atau kopinya yang enak, tapi karena keberpihakan sang pemilik terhadap komunitas kreatif.
Dalam setahun terakhir, Log In Cafe telah beberapa kali bekerja sama dengan musisi lokal untuk menggelar gigs, termasuk event F**klentine yang mendapat sambutan hangat dari komunitas.
Lebih dari itu, pada perayaan ulang tahun pertamanya, Log In bahkan menjadikan panggung musik lokal sebagai inti acaranya—bukan hiburan pelengkap.
“Kadang kita cuma butuh seseorang yang bilang, ‘ayo manggung di sini’. Dan itu artinya besar banget buat kami,” ujar Enzhu, gitaris Krayon INS dan Sine, dua band lokal yang telah malang melintang di berbagai panggung alternatif.
“Kafe-kafe seperti ini ibarat oase. Tempat kita bisa menyalakan lagi semangat yang kadang redup karena tak ada tempat tampil. Kita jadi punya tujuan lagi.”
Dari sudut lain kota, Holy Drip Cafe juga menjadi tempat yang tak terpisahkan dari perkembangan skena musik lokal.
Tak heran, sebab pemiliknya sendiri adalah bagian dari band lokal Undestroyed—band yang tidak hanya tampil, tapi juga konsisten merilis karya orisinal.
Holy Drip tak hanya menyediakan tempat, tapi menyuntikkan semangat: bahwa bermusik adalah jalan yang layak ditempuh.
Di tempat ini, pengunjung tak hanya datang untuk kopi, tapi juga untuk ikut menyaksikan dan merayakan proses kreatif para musisi.
Lalu ada Warkop Jarod, yang layak disebut sebagai ‘rumah panggung’ bagi musisi BMR.

Dalam beberapa tahun terakhir, kafe ini menjadi tuan rumah dari sejumlah event penting seperti Jarod Fest, Bersuakarya, hingga Bersuanada.
Kegiatan-kegiatan ini bukan sekadar acara hiburan, tapi platform nyata untuk membangun mental tampil, memperkuat jejaring antar komunitas, dan membuktikan bahwa musisi lokal mampu menyuguhkan pertunjukan yang layak dihargai.
“Kalau bukan tempat-tempat seperti Jarod, kita tidak tahu lagi mau manggung di mana. Tapi yang bikin lebih spesial, mereka tak cuma kasih tempat. Mereka percaya sama karya kita,” ungkap Erik, vokalis Ampowplur, band lokal yang tengah naik daun dan mulai dikenal berkat lagu-lagu dengan lirik dan suara khas.
Bagi Erik dan banyak musisi lainnya, termasuk saya, ruang semacam itu bukan hanya tentang logistik atau teknis, tetapi soal pengakuan.
Ada satu momen yang selalu saya ingat, sederhana tapi membekas.
Sahabat ini menepuk bahu saya sambil tersenyum, lalu bertanya, “Kapan Krayon INS manggung lagi di sini?”
Pertanyaan itu terlontar bukan sekadar basa-basi, bukan juga demi mendatangkan keramaian ke tempat usahanya.
Ada ketulusan yang sulit diabaikan, ada antusiasme yang menyala di balik kalimat yang terdengar ringan itu.
Kafe itu bernama Red Corner, salah satu tempat nongkrong yang belakangan semakin sering terdengar di kalangan anak muda Kotamobagu.
Tapi bagi saya, Red Corner bukan sekadar kafe. Ia adalah ruang, tempat hangat yang memberi pelukan bagi kami—para musisi lokal yang terus mencari tempat untuk bersuara.
Pemilik Red Corner, sahabat lama saya itu, tak pernah lelah menunjukkan dukungan.
Ia tidak hanya mempersilakan panggungnya digunakan, tetapi juga menantikan dengan penuh semangat kapan kami akan kembali mengisi ruangannya dengan denting gitar, drum yang menggetarkan dada, dan lirik-lirik yang mungkin hanya dipahami oleh mereka yang tumbuh di tanah ini.
Baginya, musik lokal bukan selingan. Ia adalah bagian dari identitas tempat itu sendiri.
Ketika tempat usaha memberi panggung bagi musisi lokal, mereka sedang menyampaikan satu pesan penting: bahwa suara mereka pantas untuk didengar, bahwa karya mereka layak untuk dihargai.
Tak bisa dipungkiri, skena musik lokal sering kali terpinggirkan. Minim promosi, terbatas tempat, dan kerap hanya dinikmati segelintir orang.
Namun kini, dengan hadirnya tempat-tempat seperti Log In, Holy Drip, Warkop Jarod, Red Corner dan cafe-cafe lain yang tak sempat saya sebutkan, geliat itu mulai menemukan napas baru.
Dari gigs kecil yang sederhana, tumbuh keyakinan bahwa musik lokal bukan sekadar pelengkap suasana—ia adalah jantung dari daerah.
Lebih dari sekadar mendukung, para pemilik kafe ini sedang mewariskan nilai.
Bahwa musik lokal harus diberi ruang untuk tumbuh. Bahwa kreativitas harus dipelihara, bukan dikekang. Bahwa komunitas harus disatukan, bukan dibungkam.
Tentu saja, ini baru langkah awal. Masih banyak yang bisa dan harus dilakukan.
Tapi keberanian mereka untuk memulai, untuk memberi tanpa pamrih, sudah membuka jalan.
Kini tinggal bagaimana kita—sebagai komunitas, penikmat, bahkan pemerintah—menjaga jalan itu tetap terbuka.
Kotamobagu dan BMR butuh lebih banyak orang-orang seperti mereka.
Orang-orang yang memahami bahwa suara musisi lokal adalah suara daerah, adalah suara zaman.
Karena dari panggung kecil dan gigs sederhana itulah, kadang lahir suara yang mengubah segalanya.
Dan kepada mereka yang telah memberi tempat, semangat, dan harapan—kita tak hanya angkat topi. Kita bergandeng tangan, berdiri bersama, dan berkata: mari kita jaga musik lokal tetap hidup.
Jadi, jika hari ini ada yang bertanya kenapa musik lokal masih bertahan, salah satu jawabannya adalah karena ada orang-orang seperti pemilik Red Corner.
Yang tak lelah percaya, tak lelah mendukung, dan tak pernah berhenti bertanya:
“Kapan kalian manggung lagi di sini?” ***

*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Zonabmr. Aktif di pergerakan musik lokal daerah, frontman dan penulis lagu di band Krayon INS. Pernah memperjuangkan karya-karya musisi lokal BMR untuk didengar saat menjadi penyiar di stasiun radio lokal DC FM; saat ini menjabat sebagai Ketua DPC organisasi pers Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Kabupaten Bolmong