Palestina dan Luka Kolektif Kita

75
Palestina dan Luka Kolektif Kita
Palestina dan Luka Kolektif Kita

~Lagu “We Will Not Go Down” selalu terngiang setiap kali melihat keteguhan rakyat Palestina, bukan hanya memainkan emosi tetapi menyadarkan betapa benar setiap lirik yang dinyanyikan Michael Heart.~

Oleh: Udi Masloman

Opini, ZONABMR.COM – Setiap zaman melahirkan tragedinya sendiri. Tapi ada tragedi yang, alih-alih berakhir, justru diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya—seperti luka terbuka yang dibiarkan membusuk di tengah riuh dunia yang pura-pura tuli.

Itulah Palestina bagi kita hari ini: simbol penderitaan yang tak kunjung disembuhkan, jeritan kemanusiaan yang terlalu sering dikalahkan oleh kepentingan politik dan kekuasaan.

Di tanah yang oleh banyak agama disebut suci itu, manusia diperlakukan lebih rendah dari debu.

Rumah-rumah dihancurkan dalam sekejap, kebun zaitun—yang seharusnya menjadi lambang perdamaian—ditumbangkan dengan buldoser.

Anak-anak, yang baru belajar mengeja nama mereka sendiri, harus belajar juga bagaimana mengeja “pengungsian”, “blokade”, bahkan “kematian.”

Kita hidup di dunia yang seharusnya lebih sadar, lebih beradab, lebih berempati.

Namun ironisnya, kita menyaksikan genosida di Palestina berjalan di hadapan mata kita, sambil terus berdebat tentang istilah, tentang siapa yang lebih berhak atas rasa sakit.

Kita lupa bahwa, pada akhirnya, nyawa manusia tidak memiliki denominasi. Darah yang mengalir dari tubuh anak kecil di Gaza tidak bertanya: “Apakah aku layak dikabarkan?”

Darah itu hanya mengalir, menuntut keadilan yang entah kapan datangnya.

Apa artinya berbicara tentang hak asasi manusia, tentang perdamaian dunia, ketika kita membiarkan genosida ini berlangsung?

Apa gunanya resolusi, konferensi, pidato panjang, jika di lorong rumah sakit lapangan di Gaza, seorang ibu masih harus memilih anak mana yang mungkin bisa diselamatkan lebih dulu?

Palestina bukan sekadar isu politik, bukan semata konflik geopolitik.

Palestina adalah ujian kemanusiaan kita. Sejauh mana kita berani memihak pada yang tertindas?

Sejauh mana kita mau mengakui bahwa ketidakadilan, di mana pun ia terjadi, adalah ancaman bagi keadilan di mana pun?

Kita bisa memilih untuk diam, karena merasa kecil di hadapan kekuasaan besar.

Tapi sejarah akan mencatat bukan hanya para pelaku kejahatan itu, melainkan juga mereka yang memilih diam saat kejahatan berlangsung.

Palestina mengajarkan kita satu hal: bahwa kemanusiaan bukan sekadar kata, melainkan keberanian untuk berdiri, bahkan ketika dunia memilih untuk berpaling. ***

Udi Masloman
Udi Masloman

*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Zonabmr. Aktif terlibat di aksi-aksi peduli Palestina. Saat ini penulis tercatat sebagai Ketua Organisasi Pers DPC Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Kabupaten Bolmong

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here